Di situ terdapat sebuah kalimat, yang menurutku sangat urgent!
“In Islam, the norm of a business transaction is a cash transaction, and a credit transaction is the exception to the norm.”
Look! Let’s we translate into Indonesia.
“Dalam Islam, kebiasaan dari transaksi bisnis adalah transaksi tunai, dan transaksi kredit adalah di luar kebiasaan (pengecualian).”
Berawal dari kalimat ini, aku mulai resah! Dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, aku tetap mengikuti kata hatiku untuk terus menyelesaikan video itu. Selanjutnya… dan selanjutnya…
Hal terpenting yang kudapati adalah bahwa dalam bank Islam yang sangat familiar dengan transaksi akad jual beli murabahah itu merupakan “riba dari pintu belakang”. Bagaimana bisa dikatakan demikian? Alurnya begini:
Seseorang tidak memiliki uang yang banyak untuk membeli sebuah rumah hunian dengan cara tunai (cash). Jadi bank Islam menawarkan jasa dengan membelikan rumah tersebut secara tunai kepada developer misalnya seharga 100 juta dan kemudian dijual kembali kepada orang yang memerlukan rumah tadi secara kredit dengan harga 400 juta. Jumlah yang sangat besar bukan? Ya, benar. Dan 400 juta itu dibayar secara berangsur-angsur selama 20 tahun lamanya. Berapa keuntungan (margin) yang didapatkan bank Islam dari transaksi tersebut? 300 juta! Exactly! Uang 300 juta diperoleh bersamaan dengan waktu yang diberikan yaitu 20 tahun! Sederhananya, waktu ditukar dengan uang. It is RIBA! Padahal konsep di atas sebelumnya dijelaskan bahwa dalam Islam, kebiasaan dari transaksi bisnis adalah transaksi tunai.
Dan akad murabahah yang dipraktekkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat pun adalah transaksi tunai, cash, bukan kredit! Jadi akad murabahah yang ditawarkan oleh bank Islam dengan konsep seperti tersebut di atas merupakan konsep yang berada di luar lingkaran konsep murabahah yang sesungguhnya, sehingga dikatakan oleh ulama sebagai “back door riba” alias “riba dari pintu belakang”.
Menyeramkan bukan? Aku saja baru menyadarinya.
Resahku tidak berhenti sampai di sini. Mengapa? Karena ini ada hubungannya dengan pekerjaanku. Aku tak bermaksud mengatakan bahwa atasanku itu mempraktekkan riba hanya karena beliau menjual tanah dan perumahannya secara kredit. Tidak. Terlalu dangkal jika aku langsung men-judge seperti itu. Hal ini perlu penelusuran lebih jauh kurasa. Dan PT ZBP, bukanlah sebuah bank yang memfasilitasi akad murabahah, tetapi langsung menjual tanah dan rumah kepada konsumen secara kredit, tanpa perantara! Jadi tidak bisa memposisikan PT ZBP seperti layaknya bank. Akan tetapi walau bagaimana pun, kuakui aku resah! Aku tidak akan rela jika uang yang kudapatkan dari pekerjaanku saat ini ternyata diragukan kehalalannya akibat transaksi yang tidak dibenarkan secara syariat. Terlebih, aku adalah lulusan Ekonomi Islam! Jika memang dijatuhi dosa, maka aku yang punya ilmu akan dijatuhi hukuman yang jauh lebih berat di hadapan-Nya ketimbang jika aku tak mengetahuinya. Bukankah akan lebih besar siksanya pelanggaran bagi orang yang tahu ketimbang orang yang tidak tahu?! Ya Tuhanku, Allah… sungguh aku takut!
Perasaan itu berkecamuk! Antara menyalahkan dan membenarkan! Resah, resah, dan semakin meresahkan saja! Aku dilanda ke-GALAU-an tingkat maksimum *agak berlebihan memang* tapi ini sungguhan gan… aku sedang tak ingin bercanda untuk yang satu ini. Bukan soal dunia ini, tapi akhirat! Tempat tinggal abadi…
Kurasa aku harus berbuat sesuatu. Ada beberapa alternatif yang ditawarkan teman-teman setelah aku mendiskusikan ini dengan mereka. *aku terpaksa menceritakannya pada mereka karena jika tidak, kepalaku nyaris pecah karenanya* Dari kesemuanya itu, kucoba spesifikkan menjadi dua saja. Karena kebanyakan, idenya kurang lebih sama. Untuk ide yang kebanyakan itu kira-kira seperti ini:
“sebaiknya anti segera berhenti dari sana dan cari saja pekerjaan lain yang lebih membuat hatimu tentram ukh” (Ide ini bagus. Kurasa mereka ada benarnya juga. Tapi gk mudah untuk mencari pekerjaan penggantinya untuk saat ini L dan aku masih mempertimbangkannya, mengingat saat ini aku benar-benar butuh pekerjaan untuk melaksanakan kewajibanku yang sudah menumpuk pasca wisuda).
Baik, lalu kita ke ide selanjutnya. Ini saran dari murabbiyah-ku:
“mira jangan buru-buru membuat keputusan… kan itu belum tentu seperti yang mira bayangkan dan mira pikirkan… klo menurut kakak, apa gk sebaiknya mira selidiki dulu… tanyakan pada ahlinya… karena persoalannya tidak sesederhana itu mir… ini menyangkut syari’at… kita harus berhati-hati…” (subhanallah kakakku… idemu cerdas sekali! *tepuk-tangan* aku sangat kagum padanya. Sayangnya, saat ini aku tak lagi dengannya, karena sejak akhir November, kelompok lingkaran kami mengalami regrouping alias perombakan. Tapi sungguh idenya itulah yang kupilih untuk mengatasi resahku yang semakin hari semakin menggunung tinggi. Kalian mau tau siapa murabbiyahku yang sekarang? *kasi tau gk ya?* hahaha, gk seru ah klo dikasi tau. Kan gk ada kepentingannya juga dibahas di sini. Nanti akan ada edisi khusus untuk membahas tentang orang-orang hebat itu)
Aku tak bisa mengulur-ulur waktu untuk segera melaksanakan ide dari kakakku itu. Untuk bertemu langsung dengan orang yang menurutku ahli dalam masalah ini, terus terang aku tak punya waktu. *bukannya sok sibuk tapi memang aktivitasku full dari pagi sampai maghrib :D* Jadi kuputuskan untuk menggunakan cara yang lain, yaitu… chatting! Ya, karena pada saat istirahat kerja siang, aku membuka akun fesbuk dan mendapati ada seseorang yang menurutku bisa membantu dalam memecahkan persoalanku ini. Namanya Pak Ichsan Iqbal. Akrab disapa Pak Habib karena perawakannya yang memang seperti orang Arab. *lawong emang keturunan Arab koq, hehe* piss Pak Habib ^^v *sssttt… beliau ini dosen paporit aku :D dan termasuk dosen yang paling dekat denganku, karena hobi kita sama: AKUNTANSI! Haha, jadinya klop banged deh gitu, sampai temen2 sering bilang,”eh mir, ke mana aja sih? Dicariin abi-mu tuh di jurusan” (beliau sekarang ketua jurusanku). Ntar kapan2 aku ceritain tentang beliau ya di edisi yang lain*
Nha… pas kulihat Pak Habib sedang online, tanpa ragu aku langsung bercerita padanya tentang keresahanku akan pekerjaan yang kulakoni ini. (aku tak perlu menjelaskan lagi padanya tentang spesifikasi pekerjaanku karena memang sejak belum lulus kuliah, beliau sudah pernah kuceritakan soal di mana aku bekerja. Maklum, kan dosen terdekat… hehe jangan iri yak? :p *jitak
Singkat cerita… aku bisa mengambil entry point dari pembicaraan kami saat itu. Yaitu bahwa…beliau sepakat denganku tentang transaksi kredit memang di luar kebiasaan (the norm) dalam Islam, dan beliau juga sependapat denganku bahwa transaksi kredit tak akan pernah kita temukan pada masa Rasulullah saw. dan para sahabat beliau yang dirahmati Allah swt. Dan… bahwa bank Islam di seluruh dunia ini belum 100% menerapkan syariah secara benar. Terkait dengan pekerjaanku (ini yang kunanti-nanti), beliau menyampaikan bahwa seorang ulama bernama Imam Ja’far Shadiq, berpendapat bahwa penjualan kredit boleh lebih tinggi dari penjualan tunai, karena orang yang berkredit menahan harga sang pemilik, sehingga sang pemilik tadi bisa menggunakan harta (uang) secara maksimal. Kasus kredit memang tidak ada di zaman Rasulullah saw., maka komentar dari cicit Rasulullah saw., (Imam Ja’far Shadiq), perbankan syariah belum 100% melaksanakan syariah sehingga perlu dikawal. Intinya bahwa pada hari ini, umat Islam sangat sulit untuk terhindar dari transaksi kredit, mengingat tidak semua orang mampu untuk bertransaksi secara tunai.
Sampai dengan kalimat itu, resahku mulai agak menurun sedikit demi sedikit… dan kuharap Allah swt memberikan petunjuk-Nya, agar aku dapat melihat dan membedakan dengan jelas, antara yang haq dan yang bathil…
Ya Tuhanku, Allah… takkan kubiarkan harta yang subhat terlebih haram masuk ke dalam perutku dan mendarah daging… aku benar2 tidak ingin… generasi penerusku terkena imbasnya suatu saat nanti… adakah aku rela membiarkan keturunanku kelak abadi menggelegak di neraka? Tentu tidak! A’udzubillahi min dzaalik!!!
Tunjukkanlah padaku yang benar itu adalah benar, dan yang salah itu salah adanya…
Aku yakin dengan pertolongan-Mu wahai Allah yang terkasih… Kau tak akan menelantarkan hamba-Mu ini… Aku yakin!
Terima kasih wahai Allah… karena dengan ujian ini, Kau membuatku semakin cinta…
Terlalu sibuk mencintai-Mu, hingga Kau menjadikan aku lupa kepada cinta selain-Mu…